MitraBangsa.Online – Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang mengatakan, industri baja memiliki peran penting dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045. Menurut Agus sektor ini berkontribusi dalam pembangunan seperti transportasi, otomotif, konstruksi, hingga energi. “Industri baja memiliki peran vital dalam menyokong pertumbuhan ekonomi dan pengembangan beberapa industri penting lainnya, seperti energi, konstruksi, otomotif dan transportasi. Selain itu, industri baja juga merupakan salah satu sektor yang berperan penting pada perwujudan 4 pilar utama bagi pembangunan Indonesia Maju melalui visi Indonesia Emas 2045”, ujar Agus dalam pengukuhan kepengurusan The Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) periode 2023-2025, Jakarta, Senin (23/10/2023).
Produsen besi baja di Indonesia terus berupaya memaksimalkan produksinya untuk bisa memenuhi peningkatan konsumsi baja nasional. Diperkirakan jumlahnya akan meningkat sekitar 100 juta ton dengan nilai investasi US $100 miliar dan menyerap 2,5-3 juta lapangan kerja baru. Meski begitu, industri besi dan baja masih menghadapi banyak tantangan. Menurut Chairman IISIA Purwono Widodo, tantangan tersebut di antaranya adalah belum seimbangnya kapasitas produksi hulu, intermediate, dan industri hilir, sehingga kebutuhan masih disumbang dari impor.
Tantangan lainnya terkait dengan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI). Saat ini masih beredar produk baja tidak sesuai SNI beredar di pasar dalam negeri. IISIA bersama Kemenperin terus melakukan upaya maksimal dalam penerapan SNI untuk produk besi dan baja di hulu dan hilir. Tantangan lain terkait dengan produk baja rendah emisi karbon atau dekarbonisasi. Ia menerangkan industri baja sebagai salah satu penumpang CO2 terbesar, dengan kontribusi sebesar 4,1% dari total emisi CO2 dunia, dan 3,2% dari semua gas rumah kaca.
Hal ini berarti industri baja telah menyumbang emisi sebesar 15% dari emisi semua industri, dengan sekitar 70% emisi berasal dari penggunaan bahan bakar langsung dan sisanya datang secara tidak langsung dari listrik dan panas. “Industri baja sekarang ini biasanya memakai bahan baku yang fosil batu bara maupun bahan baku yang lain dan itu kemudian menghasilkan emisi CO2. Inilah PR yang terakhir bagi kami bisa menerima pembinaan dan bimbingan dari pemerintah,” jelasnya.
Menurutnya tantangan bagi pelaku usaha untuk menuju net zero emission juga menyangkut soal investasi teknologi sehingga membutuhkan dukungan berbagai pihak. IISIA bersama Pemerintah terus berkomitmen untuk kolaborasi secara bersama-sama dalam mencapai target Net Zero Emission pada tahun 2060. Di sisi lain Agus menyebut target net zero emission sektor manufaktur dipercepat menjadi tahun 2050, 10 tahun lebih dini dibanding target nasional. Ia berharap dukungan IISIA untuk mencapai target tersebut.
“Isu mengenai energi terbarukan yang ramah lingkungan tantangan kita, khususnya baja, itu mencapai NZE kalau di nasional targetnya 2060. Tapi Kemenperin minggu lalu putuskan lebih cepat net zero emission manufaktur jadi 2050. Oleh karena itu kami harapkan dukungan IISIA terkait 10 tahun lebih cepat,” pungkasnya.