MitraBangsa.Online – Kasus korupsi yang membelit dua petinggi BUMN PT Amarta Karya (AMKA), Catur Prabowo dan Trisna Sutisna, kembali bergulir di persidangan. Dalam sidang tersebut, terungkap modus yang dilakukan Direktur dan Direktur Keuangan PT AMKA tersebut untuk bisa mengeruk duit haram dari proyek fiktif yang telah direncanakan. Fakta itu terungkap saat Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menghadirkan 11 saksi yang mayoritas merupakan pegawai PT AMKA di Pengadilan Tipikor Bandung, Senin (6/11/2023). Salah satunya adalah Rachmat Zainal Irfan selaku Supervisor Akuntansi di Divisi Properti PT AMKA.
Saat itu, Rachmat diketahui ditunjuk menjadi site administration manager (SAM) dalam proyek Labolatorium Bio Safety Level III Unpad dan Pjs SAM di proyek GOR Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Dalam perjalanannya, dua proyek itu kemudian digarap 10 perusahaan subkontraktor untuk proyek di Unpad dan 11 perusahaan subkontraktor di proyek UNJ. Tapi kemudian, Rachmat baru mengetahui setelah CV Perjuangan tiba-tiba muncul dalam daftar penerima pembayaran dari PT AMKA untuk kedua proyek itu. Padahal menurut dia, sejak awal proses lelang hingga pelaksanaannya, CV Perjuangan bukan termasuk perushaan yang ditunjuk menjadi subkontraktor.
“(CV Perjuangan) tidak ada. Saya baru tahu setelah minta cash flow (rekap pengeluaran dan pemasukan perusahaan) bulanan. Dari cash flow itu muncul (CV Perjuangan),” kata Rachmat.
Berdasarkan catatan keuangan yang ia terima, terdapat pembayaran ke CV Perjuangan senilai Rp 2 miliar lebih untuk proyek Lab Unpad dan sekitar Rp 1,7 miliar untuk proyek GOR UNJ. Rachmat kemudian sempat menanyakan transaksi itu ke rekan satu divisinya, namun tidak ada yang bisa menjelaskan secara detail. “Akhirnya saya tanya, katanya enggak tahu. Itu urusan pusat,” ucap Rachmat di hadapan JPU KPK. Belakangan diketahui, transaksi itu memang telah direncanakan Catur dan Sutisna. CV Perjuangan sendiri merupakan salah satu perusahaan fiktif yang dibuat keduanya bersama CV Guntur Gemilang dan CV Cahaya Gemilang untuk bisa mengeruk duit Amarta Karya.
Selain itu, Catur dan Trisna sudah menyiapkan rencana yang matang supaya perusahaan fiktif yang disiapkannya itu bisa menampung duit PT AMKA. Mulai dari menyiapkan dokumen administrasi pada proses perencanaan awal, memanipulasi tanda tangan, hingga menyiapkan surat perintah kerja (SPK) serta surat perintah membayar (SPM). Rachmat pun menjadi korban bagaimana tanda tangannya kemudian dimanipulasi untuk menjalankan siasat licik tersebut. “Tanda tangan memang ada beberapa yang saya tulis langsung, tapi ada yang bukan tanda tangan asli saya. Saya enggak tahu di-scan atau bagaimana. Tapi kalau untuk pembayaran, itu bisa dibilang dipalsukan tanda tangan saya,” ucapnya.
Sekedar diketahui, Catur Prabowo dan Direktur Keuangan PT AMKA Trisna Sutisna telah didakwa menilap duit negara hingga Rp 46 miliar. Keduanya ditengarai memperkaya diri dengan cara meloloskan proyek fiktif di sejumlah daerah di Indonesia. Adapun modusnya, dilakukan dengan cara menunjuk 3 perusahaan, yaitu CV Perjuangan, CV Cahaya Gemilang dan CV Guntur Gemilang yang sudah keduanya rekayasa untuk menampung uang proyek fiktif tersebut. Catur dan Trisna turut dibantu sejumlah koleganya seperti Pandhit Seno Aji dan stafnya, Deden Prayoga. Dari hasil proyek fiktif yang telah dijalankan, CV Guntur Gemilang lalu tercatat menyetorkan uang sebesar Rp 17.460.348.357 atau Rp 17,4 miliar. CV Cahaya Gemilang Rp 13.844.907.543 atau Rp 13,8 miliar dan CV Perjuangan Rp 12.760.002.423 atau Rp 12,7 miliar.
Selain itu, Catur dan Trisna juga mengatur transfer kepada sejumlah kerabat Deden Prayoga yang seolah-olah ditunjuk menjadi vendor penyedia alat proyek konstruksi. Mulai dari Abdul Kadir Rp 146 juta, Desi Hariyanti Rp 730 juta, Fajar Bagus Setio Rp 103 juta, M Bangkit Hutama Rp 316 juta dan Triani Arista Rp 490 juta. Dari setoran proyek fiktif itu, Catur mendapat jatah hingga Rp 30 miliar dan Trisna Rp 1,3 miliar. Sedangkan sisanya yaitu Rp 14,2 miliar, dibagi untuk Royaldi Rp 938 juta, I Wayan Rp 8,4 miliar, Firman Sri Sugiharto selaku Kepala Divisi Operasi I Rp 870 juta, Runsa Reinaldi Rp 273 juta, dan dipergunakan Pandit serta Deden hingga Rp 4,1 miliar. Keduanya pun didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahhun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dakwaan kesatu alternatif pertama.
Serta Pasal Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dakwaan kesatu alternatif pertama. Khusus untuk Catur, JPU KPK mendakwa Direktur PT AMKA itu dengan pasal pencucian uang sebesar Rp 10 miliar. Dalam salinan dakwaan tersebut, Catur disinyalir menggelapkan duit hasil korupsinya dengan cara membeli sejumlah aset hingga membawanya kabur ke luar negeri. Catur pun didakwa bersama melanggar Pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP, sebagaimana dakwaan kedua.