Ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta Utara: Trauma Kolektif, Dugaan Perundungan, dan Sorotan Sistemik

  • Bagikan

MitraBangsa.Online — Peristiwa ledakan yang mengguncang SMA Negeri 72 Jakarta Utara pada Jumat, 7 November 2025, bukan hanya meninggalkan luka fisik bagi para korban, tetapi juga membuka luka sosial yang lebih dalam: trauma kolektif, dugaan perundungan, dan sorotan terhadap sistem keamanan serta perlindungan anak di lingkungan pendidikan.

Ledakan terjadi saat pelaksanaan salat Jumat di masjid sekolah yang berada dalam kompleks Kodamar TNI AL, Kelapa Gading. Suara ledakan keras disertai asap tebal membuat ratusan siswa dan guru berhamburan keluar. Sedikitnya 20 orang mengalami luka, dua di antaranya menjalani operasi intensif.

Kronologi dan Fakta Awal

Menurut saksi mata, ledakan berasal dari bagian belakang ruang utama masjid. Tim Gegana Polri segera menyisir lokasi dan menemukan tiga bom rakitan, dua di antaranya meledak. Penyelidikan awal mengarah pada dugaan bahwa pelaku adalah seorang siswa yang mengalami tekanan psikologis akibat perundungan.

“Kami menemukan indikasi bahwa pelaku adalah korban bullying yang menyimpan tekanan cukup lama,” ujar salah satu penyidik Polda Metro Jaya.

Respons Pemerintah dan Lembaga Perlindungan Anak

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah menerima laporan langsung dari Wakapolri dan menegaskan bahwa penanganan korban dan penyelidikan motif menjadi prioritas. Presiden Prabowo Subianto juga telah mendapatkan laporan resmi, bertepatan dengan pelantikan Komisi Reformasi Polri di Istana Merdeka.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyerukan perlunya trauma healing menyeluruh bagi seluruh siswa, termasuk mereka yang tidak mengalami luka fisik namun terdampak secara psikologis.

“Kami mendorong agar sekolah dan pemerintah daerah segera melakukan pemulihan trauma dan memperkuat sistem deteksi dini terhadap potensi kekerasan di lingkungan pendidikan,” ujar Ketua KPAI Margaret Aliyatul Maimunah.

Sorotan Publik: Antara Trauma dan Reformasi

Insiden ini terjadi di tengah sorotan publik terhadap reformasi institusi Polri, terutama karena momen ledakan berdekatan dengan pelantikan Komisi Reformasi. Meski belum ada bukti kuat bahwa insiden ini terkait dengan tekanan politik atau desakan pembenahan institusi, sejumlah pengamat mulai menyoroti perlunya evaluasi sistemik.

  • Lokasi kejadian berada di kompleks militer, menimbulkan pertanyaan tentang akses dan pengawasan keamanan.
  • Pelaku diduga memiliki akses terhadap bahan peledak rakitan, yang memicu kekhawatiran tentang kontrol sosial dan psikologis di sekolah.
  • Momen insiden berdekatan dengan pelantikan Komisi Reformasi Polri, memunculkan spekulasi di ruang publik.

Komisi III DPR RI meminta agar penyelidikan dilakukan secara transparan dan menyeluruh, termasuk kemungkinan adanya kelalaian sistemik.

“Kami tidak ingin insiden ini hanya dilihat sebagai kasus individual. Ada sistem yang harus dievaluasi, baik dari sisi keamanan sekolah maupun perlindungan anak,” ujar salah satu anggota Komisi III.

Evaluasi Sistem Pendidikan dan Keamanan Sekolah

Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa sekolah bukan hanya tempat belajar, tetapi juga ruang sosial yang harus aman secara fisik dan mental. Evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengawasan, deteksi dini gangguan psikologis, dan mekanisme pelaporan bullying menjadi kebutuhan mendesak.

Pemerintah daerah, Kementerian Pendidikan, dan lembaga perlindungan anak diharapkan segera menyusun protokol keamanan terpadu, termasuk pelatihan guru dan konselor untuk mendeteksi gejala tekanan mental pada siswa.

Catatan Redaksi

Berita ini disusun berdasarkan fakta yang tersedia dan tidak bermaksud menyimpulkan motif politik tanpa bukti sahih. MitraBangsa.Online berkomitmen untuk menyajikan informasi yang berimbang, berpihak pada kepentingan publik, dan mendorong transparansi dalam penanganan kasus-kasus yang menyangkut keselamatan anak dan sistem pendidikan nasional.

  • Bagikan