KOTA BEKASI – Di tengah euforia pengangkatan ribuan tenaga honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di Kota Bekasi, terselip kesedihan mendalam dari para pesapon—pekerja kebersihan yang selama ini menjadi garda terdepan dalam menjaga kebersihan kota. Dari sekian banyak Tenaga Kerja Kontrak (TKK), justru mereka yang selama ini bekerja tanpa lelah membersihkan jalan, taman, dan fasilitas umum, tak tercantum dalam daftar penerima pengangkatan PPPK.
Hal ini sontak menimbulkan pertanyaan besar dan rasa keprihatinan di kalangan masyarakat maupun sesama pegawai non-ASN. Para pesapon yang telah puluhan tahun mengabdi dengan bayaran seadanya, kini harus menerima kenyataan pahit: tak ada tempat bagi mereka dalam formasi PPPK tahun ini.
Saat dikonfirmasi, Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kota Bekasi, Drs. Hudi Wijayanto, M.Si., menyampaikan bahwa pihaknya ikut prihatin atas nasib para pesapon. Ia menegaskan bahwa persoalan ini menjadi perhatian khusus ke depan.
“Kami ikut prihatin terhadap pesapon. Tentu hal tersebut menjadi perhatian khusus dan PR ke depan,” ujar Hudi kepada awak media.
Namun, ia menjelaskan bahwa keputusan ini bukan murni kewenangan daerah. Menurutnya, sejauh ini draf seleksi dari pemerintah pusat memang tidak memuat formasi untuk pesapon.
“Sikap yang ditanyakan tentu saya menunggu kebijakan pusat, karena memang dalam draf seleksi tak ada untuk pesapon,” lanjutnya.
Ia juga menambahkan bahwa jika merujuk pada regulasi nasional, tahun 2025 seharusnya sudah tidak ada lagi status honorer maupun TKK di instansi pemerintah.
“Kalaupun ada kebijakan lain dari pusat, maka kemungkinan penanganannya akan dilimpahkan ke pihak perusahaan swasta yang sudah membidangi, atau melalui sistem outsourcing,” jelas Hudi.
Pernyataan ini membuka fakta baru bahwa masa depan para pesapon berada di ujung tanduk. Di satu sisi, mereka sudah lama mengabdi, tetapi di sisi lain, tidak ada regulasi yang secara eksplisit menjamin mereka mendapatkan status lebih baik. Mengalihkan nasib mereka ke sistem outsourcing juga bukanlah solusi ideal, karena artinya status mereka tetap rentan dan tanpa jaminan kesejahteraan jangka panjang.
Sudah seharusnya pemerintah, baik pusat maupun daerah, duduk bersama untuk mencari jalan keluar yang adil. Sebab pekerjaan pesapon bukan sekadar menyapu jalan, tetapi menjaga citra dan kesehatan lingkungan kota setiap hari. Pengabdian mereka bukan pekerjaan musiman, melainkan pengorbanan yang tak terlihat namun sangat terasa manfaatnya.
Pemerintah perlu hadir, bukan hanya lewat kata-kata prihatin, tetapi dengan tindakan nyata. Karena pesapon bukan sekadar “tukang sapu”, mereka adalah pahlawan kebersihan yang telah lama menanti pengakuan.














