Kepala Desa Meok Diduga Selewengkan Dana Pangan

  • Bagikan
Ilustrasi

MitraBangsa.Online_Desa Meok, Kabupaten Bengkulu Utara, tengah disorot publik menyusul dugaan penyalahgunaan Dana Ketahanan Pangan Tahun Anggaran 2024. Dana ini berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Republik Indonesia dan wajib dialokasikan minimal 20 persen dari total Dana Desa, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Permendes PDTT) Nomor 2 Tahun 2024 serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 108 Tahun 2024.

Seorang tokoh masyarakat yang enggan disebut namanya mengungkapkan bahwa pelaksanaan program ketahanan pangan di desa tersebut sarat kejanggalan. Warga hanya diberikan 2 liter racun rumput untuk menggarap lahan desa seluas 20 meter × 100 meter. Bibit pisang ditanam oleh pihak desa tanpa pelibatan warga, dan mereka hanya menerima upah sebesar Rp7.000 (tujuh ribu rupiah) per pohon. Bahkan, pekerjaan menebas rumput dilakukan tanpa bayaran. Lebih ironis lagi, pembagian lahan dilakukan dengan sistem undian, bukan berdasarkan kebutuhan atau asas pemerataan. Total sekitar 300 pohon pisang ditanam, namun warga merasa hanya dijadikan tenaga kerja murah, bukan sebagai penerima manfaat program.

“Ini bukan pemberdayaan, ini eksploitasi terselubung,” ujar tokoh tersebut. Ia menilai bahwa program ini tidak mencerminkan semangat keadilan sosial, melainkan hanya formalitas yang menguntungkan pihak tertentu.

Setelah dikonfirmasi oleh awak media, Kepala Desa Meok membantah tuduhan korupsi tersebut. Ia menyatakan bahwa program telah dilaksanakan sesuai prosedur, dan masyarakat diberi kesempatan untuk menggarap lahan secara sukarela. Menurutnya, sistem undian dan pembagian racun rumput merupakan bagian dari strategi teknis yang telah disepakati dalam rapat terbatas bersama warga.

Meski demikian, pernyataan tersebut belum sepenuhnya meredakan kecurigaan publik. Sejumlah warga tetap menyuarakan ketidakpuasan dan menuntut transparansi penuh atas penggunaan anggaran. Mereka menilai bahwa pelaksanaan program tidak mencerminkan semangat pemberdayaan, melainkan hanya formalitas yang menguntungkan pihak tertentu.

Inspektorat Kabupaten Bengkulu Utara telah mengakui adanya indikasi penyelewengan, meskipun audit resmi belum dilakukan. Sejalan dengan komitmen Presiden Republik Indonesia untuk mengungkap dan memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya, masyarakat mendesak Kejaksaan Negeri Bengkulu Utara dan Kejaksaan Tinggi Bengkulu untuk segera turun tangan. Audit menyeluruh terhadap penggunaan Dana Desa harus dilakukan, aliran anggaran harus diperiksa secara transparan, dan pihak-pihak yang terlibat harus dimintai pertanggungjawaban hukum.

Transparansi bukan pilihan, melainkan kewajiban. Jika hukum tidak turun, maka suara rakyat akan naik. Kasus ini menjadi pengingat bahwa pengawasan publik terhadap anggaran negara harus berjalan hingga ke tingkat desa—tempat di mana kesejahteraan rakyat seharusnya dibangun dari akar, bukan dikorbankan demi kepentingan segelintir elit lokal.

  • Bagikan