JAKARTA — Dalam suasana yang hangat, teduh, dan penuh makna sejarah, Pimpinan Suara Tepi Kapuas, Eddy Hariady, bersama Ketua DPW 1 Kalbar Barisan Patriot Bela Negara, Yan Lipan, bersilaturahmi dengan Yang Mulia Sultan Pontianak, Syarif Melvin Alkadrie, S.H. Pertemuan bersejarah di tepian Sungai Kapuas ini bukanlah agenda politik, melainkan ruang refleksi kebangsaan — sebuah ikhtiar luhur untuk menggali kembali akar sejarah dan memulihkan jati diri Kalimantan Barat dalam bingkai keindonesiaan yang bermartabat.
Dari dialog yang sarat wawasan kebangsaan itu, lahir satu gagasan monumental: mengubah nama Bandara Internasional Supadio menjadi Bandara Internasional Sultan Syarif Abdurrahman.
Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie adalah pendiri Kota Pontianak dan Kesultanan Kadriah pada tahun 1771 — tokoh visioner yang meletakkan fondasi peradaban, persaudaraan, dan spiritualitas di tanah Kalimantan Barat. Mengabadikan namanya bukan sekadar penghormatan simbolik, melainkan pemulihan marwah sejarah dan penegasan nilai-nilai kebangsaan di panggung dunia internasional.
Menurut Eddy Hariady, perubahan nama ini bukan sekadar urusan administratif, tetapi transformasi citra dan nilai luhur Pontianak di mata dunia. Nama “Sultan Syarif Abdurrahman” memiliki resonansi kuat — membawa kebanggaan historis, spiritual, dan identitas budaya yang sejajar dengan ikon-ikon nasional seperti Bandara Sultan Hasanuddin di Makassar dan Sultan Iskandar Muda di Aceh. Kini, saatnya Pontianak berdiri sejajar dalam deretan kota bersejarah Nusantara yang dihormati dunia.
Dalam pandangan Yan Lipan, bandara bukan sekadar terminal udara, melainkan gerbang simbolik tempat sejarah bertemu masa depan. Ia menegaskan, “Gagasan ini lahir bukan dari kepentingan politik, melainkan dari nurani sejarah dan semangat nasionalisme kultural.” Nama besar Sultan Syarif Abdurrahman, lanjutnya, adalah penanda persatuan dan kebangkitan kesadaran generasi muda — agar mereka mengenali tanah kelahirannya dengan rasa bangga dan tanggung jawab.
Yang Mulia Sultan Syarif Melvin Alkadrie, S.H., menyambut gagasan ini dengan ketulusan dan kebijaksanaan. Beliau menuturkan bahwa setiap nama yang diabadikan memanggul jiwa, doa, dan amanah moral. “Jika nama Sultan Syarif Abdurrahman disematkan pada bandara, itu bukan semata kebanggaan keluarga Kesultanan Kadriah, melainkan kebanggaan seluruh masyarakat Kalimantan Barat. Sebab di dalam nama itu hidup nilai sejarah, budaya, dan persaudaraan yang abadi,” ungkap beliau dengan keteduhan khas seorang pewaris peradaban.
Gagasan ini membuka jalan baru bagi pendidikan karakter kebangsaan. Dalam arus global yang cepat dan sering melupakan akar, pengenalan terhadap tokoh pendiri daerah menjadi benteng identitas dan moralitas bangsa. Nama bandara bukan sekadar penanda lokasi — melainkan prasasti nilai yang menyapa setiap penumpang dan mengajarkan makna: bahwa setiap langkah ke langit harus berpijak di bumi sejarahnya.
Dari tepian Sungai Kapuas yang mengalir lembut namun tegas, mengemuka suara rakyat yang jernih dan tulus:
“Kepada Bapak Presiden Prabowo Subianto, serta jajaran pemerintah pusat, dengarkanlah suara tepi Kapuas ini — suara yang lahir dari nurani sejarah dan cinta tanah air. Jangan abaikan warisan luhur yang telah menuntun lahirnya peradaban di barat Nusantara. Jadikanlah penggantian nama Bandara Supadio menjadi Bandara Sultan Syarif Abdurrahman sebagai langkah kenegaraan yang bijaksana — langkah yang meneguhkan penghormatan terhadap pendiri kota, menyalakan semangat kebangsaan, dan menautkan masa lalu yang agung dengan masa depan Indonesia yang berdaulat.”
Pertemuan di tepi Kapuas ini bukan sekadar perbincangan, melainkan titik tolak kesadaran baru. Dari tempat lahirnya Pontianak, mengalir pesan yang melintasi zaman:
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati pendirinya, dan dari tepi Kapuas, semangat sejarah itu akan terus menyala untuk Indonesia.”














